Pareh (1936)




Sinopsis film Pareh (1936)

Mahmud (Rd. Mochtar), seorang nelayan, jatuh cinta dengan Wagini (Doenaesih), putri seorang petani. Akan tetapi, takhayul yang berkembang saat itu meramalkan hubungan mereka akan membawa petaka. Hal ini seolah benar-benar terjadi setelah keris kepala desa dicuri, tetapi akhirnya Mahmud dan Wagini berhasil bersatu.

Film produksi era Kolonial Belanda ini tuai pujian saat ditayangkan di luar negeri, namun masyarakat Pribumi merasa kecewa dengan hasilnya.

Perkembangan film di Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Era kolonial Belanda menjadi momen penting lahirnya dunia perfilman meski mendapat reaksi yang tuai pro dan kontra.

Pareh merupakan salah satu film produksi Hindia Belanda pada tahun 1936 yang disutradarai oleh Albert Balink dan Mannus Franken dari Belanda. Aktor pada film ini dibintangi oleh seorang pribumi bernama Raden Mochtar dan Doenaesih. Film ini menceritakan kisah cinta terlarang antara seorang nelayan dan putri petani.

Dihimpun dari beberapa sumber, Raden Mochtar berperan sebagai seorang nelayan bernama Mahmud ini jatuh cinta dengan seorang wanita bernama Wagini yang diperankan oleh Doenaesih, putri dari seorang petani. Akan tetapi, takhayul yang berkembang pada saat itu meramalkan jika hubungan mereka membawa petaka.

Film dengan durasi 92 menit ini mendapatkan berbagai respons. Bagi orang-orang asing, film ini tergolong sukses dan membuat decak kagum. Namun, bagi kalangan pribumi, alur film ini sungguh mengecewakan dan tidak berkesan.

Dikutip dari beberapa sumber, sang sutradara Albert Balink yang berprofesi sebagai jurnalis Belanda ini sudah memulai proyek filmnya pada tahun 1934. Namun, dirinya yang kurang berpengalaman dan ingin menargetkan penonton orang Belanda, ia akhirnya memperkerjakan dua anggota Wong Bersaudara.

Wong Bersaudara yang juga kakak adik berdarah Tionghoa ini akhirnya menyumbangkan studio mereka, seperti pabrik tepung tapioka hingga peralatan film milik mereka. Untuk pendanaannya, diperkirakan berasal dari pengusaha film bernama Buse.

Balink bersama Wong Bersaudara menghabiskan waktu hampir dua tahun untuk mengumpulkan dana dan Balink sendiri sempat bertugas di Java Pacific Film. Dengan mengedepankan konsep film yang sempurna, Balink sempat kebingungan.

Tidak seperti pembuat film pada umumnya, Balink justru membuang banyak waktu, tenaga, dan uang hanya untuk mencari lokasi dan juga aktor bagus terlepas dari sosoknya yang terkenal atau tidak.

Unsur Ketidaksengajaan
Peran seorang Mahmud pun akhirnya bertemu dengan cara tidak sengaja. Pada saat itu, Balink sedang berkumpul bersama Wong Bersaudara bertemu seorang pemuda tinggi, kuat, dan tampan (sesuai harapan mereka).

Pria tersebut dalam posisi sedang mengemudi. Balink bersama Wong Bersaudara pun bergegas untuk mengejarnya. Rupanya, pria yang dimaksud itu adalah Raden Mochtar yang merupakan seorang Priyayi Jawa. Ia juga diminta untuk menggunakan gelar "Raden" dalam film tersebut.

Tonjolkan Budaya Lokal
Setelah menemukan pemeran utamanya, Balink membawa Mannus Franken untuk mengarahkan artistik dan penulisan naskah. Franken sendiri memaksa agar dalam film ini terdapat unsur etnografis dengan menampilkan budaya-budaya lokal.

Franken pun tertarik untuk menangani aspek dokumenter dan etnografis dalam film Pareh sekaligus sebagai sutradara adegan. Sementara Wong Bersaudara bertugas adegan-adegan umum.

Film ini masih murni direkam dengan lensa kamera 35 mm dengan peralatan sistem tunggal. Lalu, hasil rekamannya itu dibawa ke Belanda untuk disunting dan suara-suara pemerannya diisi oleh suara aktor Belanda. Hal ini menimbulkan kesan bahasa yang bercampur dan aksen Belanda yang kental.

Tuai Perhatian Hingga Gagal Balik Modal
Film yang menghabiskan dana kurang lebih 75.000 gulden itu ternyata biaya itu sangat mahal dan melebihi biaya produksi film pada umumnya. Pareh pun resmi tayang pada tanggal 20 November 1936 dengan judul Pareh, een Rijstlied van Java. Di luar negeri, film Pareh sendiri diberi judul Pareh, Song of the Rice.

Setelah rilis, film ini mendapatkan pujian dari orang-orang Belanda karena campur tangan dari Franken. Namun, respons ini berbanding terbalik dengan orang-orang pribumi. Film tersebut justru tidak diminati dan mendapatkan banyak kritikan termasuk dari budayawan nasional Armijn Pane.

Uniknya dari film ini adalah dari segi teknis berjalan cukup sukses, akan tetapi dari segi biaya, Pareh justru gagal mengembalikan biaya produksi yang cukup besar dan membuat produsernya bangkrut.







0 Komentar